To comply dan to obey dalam Krawang-Bekasi dan The Young Dead Soldiers

 

Oleh:

SOETANTO SOEPIADHY

 

ADALAH Chairil Anwar dengan sajaknya Krawang-Bekasi, pernah menjadi heboh sebagai plagiat. Chairil disangkakan melakukan plagiasi terhadap puisi The Young Dead Soldiers karya penyair Amerika Serikat, Archibald MacLeish.

 

Bengkel Muda Surabaya (BMS) dalam Malam Baca Puisi Pemikiran Kartini-Chairil Anwar, meminta saya untuk menyampaikan orasi, khususnya tentang pemikiran Chairil Anwar. Perkenankan saya, sebagai pengamat ilmu hukum untuk membedah kedua puisi, yakni Krawang-Bekasi dan The Young Dead Soldiers dalam perspektif yuridis.

 

Mencermati kedua puisi  tersebut, mengingatkan pada proses penalaran hukum yang bertumpu atas aturan berpikir yang dikenal dengan “logika”. Penggunaan logika ilmu hukum mengandung ciri khas, antara lain berkenaan dengan hakikat hukum. Hakikat hukum sebagai norma merupakan pedoman perilaku. Dalam hidup bermasyarakat, norma perilaku tidak hanya hukum atau norma positif, tetapi juga norma lainnya, misalnya norma moral.

 

Sebelum masuk pada kedua puisi tersebut, dalam ilmu hukum perlu dikemukakan tentang norma positif dan norma moral.  Pada norma positif, proses formalisasinya dengan menggunakan to comply, berdimensi kognitif. Itulah yang dalam bahasa hukum disebut state law yang bersifat normatif, textual, atau legalistik, yang bersaranakan norma perintah, norma larangan, norma izin, dan norma dispensasi. Sedangkan untuk norma moral menggunakan to obey, berdimensi afektif; yang dalam bahasa hukum disebut kepatutan, yang bersaranakan norma moral dan agama.

 

Materi muatan kedua puisi, baik Krawang-Bekasi mau pun The Young Dead Soldiers memiliki tema yang sama, yakni tentang perjuangan, dan berharap nantinya akan mendatangkan perdamaian. Sementara itu, penokohan dalam puisi itu berbeda. Dalam Krawang-Bekasi tokohnya adalah para pahlawan Indonesia; sedangkan dalam The Young Dead Soldiers adalah sosok prajurit muda, di mana para tokoh dalam kedua puisi tersebu berusaha merebut kemerdekaan.

 

KRAWANG-BEKASI

Karya: Chairil Anwar

 

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi,

tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.

 

Tapi, siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami?

Terbayang kami maju dan berdegap hati.

 

Kami berbicara padamu dalam hening di malam sepi.

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak.

Kami mati muda, yang tinggal tulang diliputi debu.

Kenang, kenanglah kami.

 

Kami sudah coba apa yang kami bisa.

Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa.

 

Kami sudah beri kami punya jiwa.

Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa.

 

Kami cuma tulang-tulang berserakan.

Tapi adalah kepunyaanmu.

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan.

 

Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan, dan harapan,

atau tidak untuk apa-apa.

Kami tidak tahu, kami tidak bisa berkata.

Kaulah sekarang yang berkata.

 

Kami bicara kepadamu dalam hening di malam sepi.

Jika dada rasa hampa dan jam dinding berdetak,

 

Kenang, kenanglah kami.

Teruskan, teruskan jiwa kami,

Menjaga Bung Karno,

menjaga Bung Hatta,

menjaga Bung Syahrir.

 

 

Kami sekarang mayat.

Berilah kami arti.

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian.

 

Kenang, kenanglah kami,

yang tinggal tulang-tulang diliputi debu,

Beribu kami berbaring antara Krawang-Bekasi.

 

THE YOUNG DEAD SOLDIERS

for lieutenant Richard Meyers

 

 Karya: Archibalt MacLeish

 

The young dead soldiers do not speak.

Nevertheless, they are heard in the still houses:

who has not heard them?

 

They have a silence that speaks for them at night

and when the clock counts.

 

They say:

We were young. We have died. Remember us.

 

They say: We have done what we could

but until it is finished it is not done.

 

They say:

We have given our lives

but until it is finished no one can know what our lives gave.

 

They say: Our deaths are not ours;

they are yours;

they will mean what you make them.

 

They say:

Whether our lives and our deaths were for peace and a new hope

or for nothing

we cannot say; it is you who must say this.

 

They say:

We leave you our deaths,

give them their meaning,

give them an end tothe war and a true peace,

give them a victory that ends the war and the peace afterwards,

give them their meaning.

We were young, they say,

We have died.

Remember us.

 

PRAJURIT (YANG) MATI MUDA

untuk letnan Richard Meyers

 

Oleh: Archibald MacLeish

 

Prajurit-prajurit muda yang telah mati tak dapat bicara

tetapi mereka didengar di rumah-rumah sunyi

siapa tidak mendengar mereka?

 

Mereka dalam diam berbicara padamu di malam hari

dan ketika jam dinding berdetak

 

Mereka berkata:

Kami (masih) muda. Kami (telah) mati. Ingatlah kami.

 

Mereka berkata: Kami telah bekerja apa yang kami dapat

tetapi sampai selesai (kerja) belum apa-apa.

 

Mereka berkata,

Kami telah memberikan jiwa kami,

tetapi sampai selesai tak seorang pun tahu pengorbanan kami.

 

Mereka berkata: Kematian kami bukan milik kami;

(kematian) itu milikmu.

(kematian) itu berarti bila engkau (memberi) arti.

 

Mereka berkata:

Baik kehidupan dan kematian kami untuk perdamaian dan sebuah harapan baru.

atau tidak untuk apa pun

Kami tidak dapat berkata, itu kamu yang harus berkata ini.

 

 

Mereka berkata:

Beri mereka keinginan mereka,

beri mereka sebuah akhir peperangan, perdamaian yang sesungguhnya,

beri mereka sebuah kemenangan dalam akhir peperangan, perdamaian yang abadi,

beri mereka keinginan mereka.

Kami masih muda, mereka berkata,

Kami telah mati.

Ingatlah kami.

 

To comly dan to obey

 

Pada puisi Krawang-Bekasi, sifat normatif, textual, atau legalistiknya dalam alur to comply terlihat pada bait puisi: /Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi, /tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.// Dan selanjutnya diakhiri dengan: /Kenang, kenanglah kami, /yang tinggal tulang-tulang diliputi debu, /Beribu kami berbaring antara Krawang-Bekasi.//

 

Sementara puisi The Young Dead Soldiers, sifat kepatutan dalam alur to obey, tampak pada bait puisi: /They say: /We have given our lives /but until it is finished no one can know what our lives gave. // They say: Our deaths are not ours; / they are yours; /they will mean what you make them.//

 

Locus Delicti dan Tempos Delicti

 

Berdasarkan locus delicti, puisi Kerawang-Bekasi dibuat Chairil Anwar yang terinspirasi peristiwa pertempuran melawan Belanda, perjuangan para pejuang bangsa dalam menghadapi musuh dan menjaga tokoh negara, dipimpin oleh KH. Noer Alie. Mereka gugur dalam usaha menciptakan perdamaian dan upaya memperoleh kemerdekaan, berlangsung di Rawa Gede pada 1945. Sama halnya dengan Krawang-Bekasi, puisi The Young Dead Soldiers, Archibald MacLeish terinspirasi atas kejadian Perang Dunia II. Ia menggambarkan keinginan para prajurit untuk dikenang dan keinginan lain seperti mendapatkan perdamian, kejayaan seusai perang.

 

Melangkah pada tempos delicti, kedua puisi, baik Krawang-Bekasi yang ditulis oleh Chairil Anwar, maupun The Young Dead Soldiers terdapat persamaan dalam tempos delicti-nya. Yakni tahun 1948. Sayangnya, kedua puisi tersebut tidak diketahui secara pasti bulan dan tanggal pembuatannya, sehingga secara yuridis akan sulit untuk diketahui siapa yang lebih dulu penciptakan puisi tersebut. Dalam ilmu hukum dikenaal istilah mutatis mutandis. Istilah ini digunakan pada saat membandingkan dua situasi dengan variabel yang berbeda.

 

 

Ontologi Hukum

 

Mempelajari hakikat hukum. Hakikat hukum secara mendalam yaitu dengan kajian filsafat hukum. Filsafat hukum cabang dari filsafat yang mempelajari hukum yang benar, atau dapat juga kita katakan filsafat hukum merupakan pembahasan secara filosofis tentang hukum, yang sering juga diistilahkan lain dengan jurisprudence, adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, yang objeknya dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat. Filsafat hukum dalam menyikapi masalah, kita diajak untuk berfikir kritis dan radikal, atau dalam artian kita diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif semata, karena jika kita hanya mempelajari arti hukum dalam arti positif semata, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik.

 

Kedua puisi tersebut secara ontologi hukum mengarah pada hubungan norma hukum dan norma moral. Hal ini terlihat dalam Krawang-Bekasi pada bait: /Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan, dan harapan, /atau tidak untuk apa-apa. /Kami tidak tahu, kami tidak bisa berkata. /Kaulah sekarang yang berkata.//

 

Dan, dalam The Young Ded Soldiers terlihat pada: /They say: /We leave you our deaths, /give them their meaning, /give them an end to the war and a true peace, /give them a victory that ends the war and the peace afterwards, /give them their meaning.//

 

Rekomendasi

 

Uraian di atas dapat direkomendasikan, bahwa kedua puisi, baik Krawang-Bekasi mau pun The Young Dead Soldiers terdapat perbedaan, meski pun slight different, yakni terletak pada penalaran hukumnya. Juga dalam hal filsafat hukumnya, yakni ontologi yang mempelajari hakikatnya; yang memperlajari materi muatan nilainya; serta epistemologi yang mempelajari apa yang berhubungan dengan pertanyaan sejuhmana pengetahuan mengenal hakikatnya yang fundamental.***

 

Balai Pemuda Surabaya

26 April 2019

Tinggalkan komentar