Agen Kebudayaan dalam Tantangan Generasi Milenial

Oleh:

SOETANTO SOEPIADHY

 

DALAM memperingati 74 tahun Kemerdekan Indonesia, tepatnya 17 Agustus 2019, saya diminta oleh Panitia Gelar Budaya dan Dialog Kemerdekaan sebagai Narasumber tentang “Budaya Kita, Budaya Indonesia yang Dicita-citakan”, di AJBS Surabaya.

 

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan menentukan, bahwa Kebudayaan Nasional Indonesia adalah keseluruhan proses dan hasil interaksi antarkebudayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia. Perkembangan tersebut bersifat dinamis, yang ditandai oleh adanya interaksi antarkebudayaan baik di dalam negeri maupun dengan budaya lain dari luar Indonesia dalam proses dinamika perubahan dunia. Dalam konteks tersebut, bangsa Indonesia menghadapi berbagai masalah, tantangan, dan peluang dalam memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia.

 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), sebagai konstitusi mengamanatkan pada negara sebuah tugas penting untuk menjamin pemajuan segenap buah usaha budinya rakyat Indonesia di tengah pergaulan kebudayaan-kebudayaan dunia dengan mempertahankan  kemerdekaan bagi perbedaan budaya di masyarakat. Ketentuan Pasal 32 ayat (1) UUD 1945 menjelaskan: “Negara memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.” Agar amanat ini terlaksana, diperlukan suatu platform dialog di mana kita semua, kelompok-kelompok budaya yang beraneka ragam, dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dan mengikatkan diri dalam pembantingan tulang bersama untuk memajukan kepentingan republik. Kita membutuhkan platform dialog di mana kita semua hadir bukan hanya sebagai publik, tapi lebih penting lagi: sebagai republik.

 

Ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan menegaskan bahwa Strategi Kebudayaan disusun oleh Pemerintah Pusat dengan melibatkan masyarakat melalui para ahli yang memiliki kompetensi dan kredibilitas dalam Objek Pemajuan Kebudayaan (Pasal 13 Ayat 1). Strategi Kebudyaan ditetapkan oleh Presiden (Pasal 13 Ayat 6).

Isi Strategi Kebudayaan (Pasal 13 Ayat 2) adalah:

  1. abstrak dari dokumen Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah provinsi, Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah kabupaten/kota, dan dokumen Kebudayaan lainnya di Indonesia;
  2. visi Pemajuan Kebudayaan 20 (dua puluh) tahun ke depan;
  3. isu strategis yang menjadi skala prioritas untuk mempercepat pencapaian visi sebagaimana dimaksud pada huruf b; dan
  4. rumusan proses dan metode utama pelaksanaan Pemajuan Kebudayaan.

 

Strategi kebudayaan nasional berangkat dari landasan UUD 1945 dan mencermati Pembukaan UUD 1945 sebagai titik tumpu imajinasi kebudayaan
nasional masa depan. Dalam dokumen tersebut tertuang aspirasi tertinggi segenap
rakyat Indonesia yang merupakan suatu visi kebangsaan: “Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Untuk mencapai perwujudan dari visi tersebut,
dijabarkanlah keempat misi bangsa atau tujuan negara Indonesia:

  • melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
  • memajukan kesejahteraan umum;
  • mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
  • melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

 

Agen Kebudayaan

Membicarakan strategi kebudayaan, seharusnya kita sendirilah yang sanggup mengarahkan, mengembangkan dan menciptakan kembali secara baru, menyumbangkan nilai-nilai dan bentuk tingkah laku yang barangkali tidak dikenal atau bahkan ditolak dalam warisan budaya yang semula kita terima.

 

Berbicara tentang strategi kebudayaan, berarti menegaskan diri kita sebagai agen kebudayaan, bukan hanya sebagai penerima warisan (resipien) kebudayaaan saja, tetapi sekaligus pencipta warisan baru dalam kebudayaan di mana kita hidup. Secara singkat, kalau kebudayaan sebagai warisan cenderung bersifat normatif, maka kebudayaan sebagai strategi hauslah bersifat kreatif.

 

Tanpa kemampuan untuk melakukan kreativitas, kecenderungan kita terhadap perubahan kebudayaan akan menghasilkan involusi kebudayaan. Involusi kebudayaan akan mengakibatkan meningkatnya usaha untuk mempertahankan salah satu segi dari kebudayaan itu, sementara segi yang lain sudah berubah. Involusi kebudayaan, pada dasarnya adalah kemandegan kebudayaan, kelumpuhan kebudayaan, atau “pembusukan budaya”. Dan orang yang mengalami involusi kebudayaan adalah orang yang hanya akan memuja kebudayaan secara estetik dan tidak mampu melihatnya sebagai bagian dari kerja kreatif progresif.

 

Dengan bersepakat, bahwa kita adalah agen kebudayaan (bukan saja sebagaai pewaris kebudayaan), seharusnya kita yang menciptakan kebudayaan itu. Setidak-tidaknya mengarahkan dan mengembangkannya. Meskipun yang diarahkan, dikembangkan, atau diciptakan bertentangan dengan budaya lama. Itulah konsekuansinya.

 

Nenek moyang kita adalah agen-agen kebudayaan yang sangat hebat. Salah satu indikator untuk mengukur kreativitas peradaban suatu bangsa atau etnis adalah kekayaan kosa kata dan bahasanya. Saat itu, kreativitas warga mampu menciptakan jenis barang apa saja yang berbahan dasar dari alam. Misalnya, tikar dari daun pandan; payung dari kayu; peralatan rumah tangga dari kaleng bekas, bambu, atau kayu, dan sebagainya.

 

Bagaimana soal makanan? Dalam menciptakan makanan, mereka juga kreatif. Dari bahan singkong saja, puluhan jenis makakan dapat diciptakan, mulai getuk, keripik, sawut, tiwul, utri, mentho, hingga ceriping. Demikian pula aneka jenis sambal. Ada sambal korek, bajak, jenggot, terasi, bawang, dan seterusnya. Aneka minuman yang dicipkan juga luar biasa banyaknya. Ada wedang jahe, ronde, bajigur, kolak, dawet, sekoteng, cao, dan sebagainya.

 

Berbagai ragam kreativitas itu, kini digilas oleh kapitalisme global. Kreativitas masyarakat Jawa, sesungguhnya memperlihatkan keunggulan budaya mereka atas budaya asing. Kekayaan budaya tersebut menunjukkan tingginya mutu peradaban mereka. Masalahnya, peradaban itu kini redup dan urung membawa kejayaannya. Pertanyaan berikutnya, dari manakah kita dapat mengembangkan kreativitas sebagai modal budaya, jika misalnya agen-agen kebudayaan semacam mahasiswa dan dosen di perguruan tinggi, kini hanya berhenti pada status resipien kebudayaan? Di negeri ini, amat sunyi karya-karya tulis intelektual. Indikatornya, tampak dari rendahnya buku yang diterbitkan.

 

Generasi Milenial

Globalisasi merupakan suatu keniscayaan yang dihadapi setiap negara di dunia. Secara demografis, pesatnya kemajuan teknologi saat ini mengakibatkan lahirnya generasi milenial. Generasi milenial atau yang akrab disebut generasi Y yaitu kelompok anak muda yang berusia belasan tahun hingga awal tiga puluhan yang lahir pada awal 1980 hingga awal 2000.

 

Di era milenial ini, setiap informasi dapat dengan cepat tersebar dan diakses oleh siapa saja di manapun dia berada. Dengan teknologi yang mumpuni, generasi milenial dibentuk menjadi pribadi yang serba canggih dan modern. Di luar itu semua, hal ini justru menjadi bumerang bagi generasi milenial. Terdapat beberapa hal utama yang menjadi perhatian, tentunya saling berkaitan satu sama lain.

 

Kemajuan teknologi menjadi problomatika baru bagi mereka pemuda bangsa ini yang belum siap, sehingga mereka dijajah oleh zaman, namun tidak secara fisik melainkan secara mental dan pemikiran dengan digiring pada kemelutnya pornografi, narkotika, miras, dan lain-lain.

 

Generasi milenia; yang berorientasi pada gadget juga tidak dapat menafikan bahwa informasi yang diserap merupakan informasi global yang pastinya memuat budaya dan gaya hidup bangsa asing di luar sana. Hal ini akan mendorong masuknya budaya-budaya asing ke dalam negeri, yang dalam pandangan generasi muda merupakan hal yang kekinian atau modern dan menganggap budaya lokal sebagai segala sesuatu yang ketinggalan zaman.

 

Kehidupan yang serba digital, kemudian pada satu sisi membawa nilai positifnya tersendiri. Teknologi membuat lebih menyederhanakan setiap persoalan. Dunia memungkinkan bisa dijelajahi hanya dari gengaman tangan. Hal-hal kecil, detil dan spesifik, yang dahulu akan sulit terjangkau, dengan teknologi bisa didapatkan selengkap mungkin informasinya hanya melalui google search.

 

Hal inilah kemudian yang dapat dimanfaatkan oleh banyak generasi milenial dalam konteks kebudayaan. Google misalnya meluncurkan program Google Arts and Culture, yang memotret dan memberikan informasi peristiwa-peristiwa kebudayaan dari berbagai macam belahan dunia. Peristiwa-peristiwa kecil di daerah, jadi memungkinkan bisa di akses diberbagai macam belahan dunia.

 

Globalisasi meleburkan batas-batas budaya suatu bangsa dan menyebabkan dunia seakan-akan menyatu menjadi satu kampung global yang budayanya ialah budaya global dan pastinya merupakan cangkokan budaya negara-negara barat (negara maju). Derasnya arus globalisasi perlahan namun pasti membuat generasi muda Indonesia asing terhadap budayanya sendiri. Hal ini tentu menjadi mimpi yang lebih buruk lagi jika para generasi milenial bangsa kita tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang budayanya sendiri.

 

Tidak perlu terlalu jauh mempertanyakan apa yang akan terjadi dengan generasi milenial di tahun 2045 nanti, ketika Indonesia satu abad. Tapi apa yang perlu dilakukan bagi mereka mulai sekarang dalam menapaki tahun-tahun berjalan ini. Menjadi penting, karena mereka generasi mileniaal yang lahir setelah awal 1980-an ini memiliki ciri khasnya: pragmatis dan optimis. Itulah karakter mereka, yang tidak lahir dari ruang kosong. Tetapi dari pergulatan keseharian mereka di tengah masyarakat.

 

Epilog

Berdasar atas strategi kebudayaan, sudah siapkah kita menghadapi booming Generasi Mlenial? Dengan asumsi dilahirkan pada tahun 1980, maka generasi ini sudah berusia 30-an tahun ketika Gelar Budaya dan Dialog Kemerdekaan ini “berdemokrasi” hari ini. Generasi milenial ini bisa jadi telah melakukan terobosan-terobosan baru dalam strategi kebudayaan dengan kapabelitas dan integritas mereka, yakni “doing the right thing when no-one is watching”. Frasa yang sederhana, namun memiliki makna yang mendalam, menggambarkan kebiasaan yang melekat dalam diri seseorang, ketulusan yang mendalam, dan tanpa pamrih, dengan tingkat kesadaran diri yang tinggi. Dengan integritas, mampu mengingatkan dan melindungi kita dari berbagai tindakan pelanggaran yang dapat merugikan pihak lain, nama baik kita, dan kepercayaan orang yang diberikan kepada kita.***

 

 

Surabaya, 17 Agustus 2019

Soetanto Soepiadhy

Pakar Hukum Konstitusi Untag Surabaya dan

Pendiri “Rumah Dedikasi” Soetanto Soepiadhy.

2 Tanggapan to “Agen Kebudayaan dalam Tantangan Generasi Milenial”

  1. Fadjar Budianto Says:

    Di era milenial ini yang dibutuhkan adalah nilai penguatannya adalah mentransformasikan sejarah perjuangan Bangsa sejak nenek moyang kita dan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Hal itu penting karena tanpa mengetahui sejarah maka generasi milenial saat ini kurang faham dan bahkan tidak mengerti nilai nilai budaya jati diri bangsa sehingga dapat mempengaruhi lunturnya nilai Nasionalisme dan Patriotisme pada NKRI.
    Tentang penulisan Bpk Soetanto 👍👍

  2. Fadjar Budianto Says:

    Di era milenial ini yang dibutuhkan adalah nilai penguatannya adalah mentransformasikan sejarah perjuangan Bangsa sejak nenek moyang kita dan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Hal itu penting karena tanpa mengetahui sejarah maka generasi milenial saat ini kurang faham dan bahkan tidak mengerti nilai nilai budaya jati diri bangsa sehingga dapat mempengaruhi lunturnya nilai Nasionalisme dan Patriotisme pada NKRI.
    Tentang penulisan Bpk Soetanto 👍👍

Tinggalkan komentar