Arsip untuk Maret, 2019

Perubahan UUD 1945 melalui Konvensi Ketatanegaraan

Posted in Artikel on 14 Maret 2019 by RUMAH DEDIKASI SOETANTO SOEPIADHY

Oleh :

SOETANTO SOEPIADHY

 

UNDANG-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) termasuk salah satu konstitusi progresif di dunia. Di dalamnya terdapat semangat anti-kolonialisme dan pro-kesejahteraan sosial. Pasca-reformasi, seiring dengan menguatnya angin liberalisme, UUD 1945 mengalami empat kali perubahan. Banyak yang berubah: UUD 1945 sudah tidak asli lagi.

Satu hal yang patut dicatat dari perubahan itu, yang terjadi bukan proses melengkapi UUD 1945, agar senafas dengan kemajuan zaman, tetapi justru upaya mengubah materi muatannya dan membuang segala fondasinya yang berbau anti-kolonialisme dan pro kesejahteraan rakyat. (Sunario, 2012).

Perubahan yang dilakukan terhadap UUD 1945 telah mereduksi, mengubah, dan mengacaukan sistem ketatanegaraan serta menghilangkan kedaulatan rakyat.

Berubahnya status dan kedudukan Majelis Permusyawaran Rakyat (MPR) yang semula sebagai Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara sejajar dengan DPR, Presiden dan Mahkamah Agung. Hal ini telah menghilangkan fungsi MPR sebagai lembaga pemegang Kedaulatan Rakyat. MPR tidak lagi memilih dan menetapkan Presiden, Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, MPR tidak lagi menetapkan GBHN, MPR nyaris tanpa kewenangan.

Nilai-nilai luhur demokrasi yang terkandung dalam UUD 1945 yang berdasarkan prinsip musyawarah-mufakat  dengan system perwakilan, telah diganti dengan sistem voting berdasarkan formula 50%+1, merupakan prinsip dari demokrasi liberal  berbasis individualisme. Jelas tidak sesuai dengan Sila ke-empat Pancasila yang menjunjung tinggi prinsip musyawarah, kekeluargaan dan gotong-royong. (Rachmawati Soekarnoputri).

Sistem ini  telah  melahirkan antara lain:

  1. Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung (by election) yang menghabiskan banyak biaya, namun dengan hasil terpilihnya para pemimpin negara yang hanya berbasis popularitas, pencitraan, kekuatan uang, namun miskin visi, inkompeten, inkonsisten dalam pengelolaan kekuasaan, tidak sesuainya antara janji dan realitas.
  2. Dihilangkannyaketentuan pasal yang mengatur tentang syarat Presiden harus orang Indonesia Asli.
  3. Pelaksanaan otonomi daerah yang kebablasan, diamana kepala daerah secara politik tidak lagi tunduk dan bertanggung-jawab kepada Pemerintah Pusat. Para Kepala Daerah tersebut justru lebih tunduk kepada pimpinan Partai Politik darimana dia berasal.
  4. Terbentuknya lembaga negara bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang menggantikan kedudukan Utusan Daerah dan Utusan Golongan.

Inilah realitas ketatanegaraan yang dialami sejak proses terjadinya 4 (empat) kali perubahan UUD 1945, serta pasca-berlakunya UUD 1945 hasil perubahan hingga saat ini. Bahkan kini ada upaya dari pihak tertentu yang mendorong untuk dilakukannya kembali perubahan kelima UUD 1945 dengan tujuan penguatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dengan memberikan hak penyusunan anggaran dan hak pengawasan kepada DPD. Aapabila ini dilakukan maka tentunya akan semakin mendorong NKRI menjadi Negara yang berciri Federalistik.

Apakah kita akan melakukan perubahan kelima UUD 1945? Atau kita harus melakukan perubahan UUD 1945 melalui Konvensi Ketatanegaraan?

Materi Muatan Perubahan Kelima UUD 1945

Dapat diuraikan bahwa materi muatan yang perlu diperhatikan dalam rangka gagasan Perubahan Kelima UUD 1945, antara lain:

  1. Bahwa yang akan menjadi objek perubahan adalah pasal-pasal, bukan Pembukaan UUD 1945;
  2. Bahwa pasal yang akan diubah tidak termasuk Pasal 1, khususnya Pasal 1 ayat (1), sebagaimana dimaksud oleh Pasal 37 ayat (5) UUD 1945;
  3. Bahwa perubahan juga tidak akan berkenaan dengan ketentuan Pasal 7, Pasal 37 ayat (5), dan pasal-pasal atau ayat-ayat lain yang bersifat fundamental dan mencerminkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945;
  4. Bahwa perubahan yang ditujukan untuk memperkuat kedudukan dan menambah kewenangan lembaga negara tidak akan menciptakan inefisiensi dalam proses pengambilan keputusan, dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip ‘checks and balances’ antar lembaga negara. (Jimly Asshiddiqie, 2011).

Dengan merujuk pada materi muatan perubahan kelima, ketentuan Pasal 37 UUD 1945 terdiri atas 5 ayat, yaitu:

  • Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
  • Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
  • Untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
  • Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen ditambah 1 anggota dari seluruh anggota MPR.
  • Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 37 di atas, minimal ada 3 (tiga) norma hukum yang terdapat di dalamnya:

  1. Bahwa yang berwenang mengubah UUD 1945 ialah MPR;
  2. Bahwa untuk mengubah UUD 1945, sidang-sidang MPR harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari seluruh anggotanya (quorum);
  3. Bahwa keputusan tentang perubahan UUD 1945 adalah sah, apabila disetujui oleh 50 persen ditambah 1 anggota dari seluruh anggota MPR dan memenuhi quorum.

Jikalau dilihat dari sisi persyaratan quorum sidang yang harus dihadiri oleh 50 persen ditambah 1 anggota dari seluruh anggota MPR, maka cara perubahan demikian dapat dikatakan tergolong sulit (rigid), karena kurang dari satu anggota saja yang tidak hadir, quorum dinyatakan tidak sah.

Untuk mencapai quorum menurut Pasal 37 UUD 1945 setelah perubahan keempat, dihitung berdasarkan jumlah seluruh anggota MPR, yakni lima puluh prosen ditambah satu dari seluruh anggota MPR.

Apabila prosedur perubahan Undang-Undang Dasar di atas dikaitkan dengan pendapat para pakar ketatanegaraan, maka dapat ditemukan adanya persamaan cara perubahan UUD 1945 dengan para pakar tersebut, antara lain:

Pertama, pandangan George Jellinek, dengan mengikuti cara verfassungsanderung, yaitu cara perubahan yang sesuai dengan cara yuridis formal.

Kedua, pandangan K.C. Wheare tentang formal amendment, yaitu perubahan UUD 1945 dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam konstitusi.

Ketiga, Pandangan C.F. Strong, perubahan UUD 1945 dilakukan melalui lembaga perwakilan rakyat, dalam hal ini oleh MPR.

Mencermati perubahan UUD 1945, haruslah melalui perubahan dengan cara yuridis formal, dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam konstitusi, melalui lembaga perwakilan rakyat. Last but not least, perubahan dengan menggunakan ketentuan Pasal 37 UUD 1945 tergolong sangat sulit.

Perubahan Konstitusi melalui Konvensi Ketatanegaraan 

Istilah konvensi berasal dari bahasa Inggris convention. Secara akademis seringkali istilah convention digabungkan dengan perkataan constitution atau contitusional seperti convention of the constitution. (Dahlan Thaib, dkk., 2008) Pengertian atau definisi Konvensi Ketatanegaraan pertama kali dikemukan oleh Dicey, yang mengemukakan Konvensi Ketatanegaraan adalah konvensi-konvensi (Conventions of the Constitution) yang berlaku dan dihormati dalam kehidupan ketatanegaraan, walaupun tak dapat dipaksakan oleh pengadilan apabila terjadi pelanggaran terhadapnya.

Konvensi atau (hukum) kebiasaan ketatanegaraan adalah (hukum) yang tumbuh dalam praktek penyelenggaraan negara, untuk melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan (mendinamisasi) kaidah-kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan. (Bagir Manaan, 1987)    `

Bagir Manan merinci Konvensi Ketatanegraan yang dikemukakan oleh Dicey sebagai berikut:

  1. Konvensi adalah bagian dari norma ketatanegaraan (konstitusi) yang tumbuh, diikuti dan ditaati dalam praktek penyelenggaraan negara.
  2. Konvensi sebagai bagian dari konstiusi yang tidak dapat dipaksakan oleh (melalui) pengadilan.
  3. Konvensi ditaati semata-mata didorong oleh tutunan etika, akhlak atau politik dalam penyelengaraan negara.
  4. Konvensi adalah ketentuan-ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaiknya) discretionory  powers dilaksanakan.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa konvensi itu berkembang, karena kebutuhan dalam praktek penyelenggaraan negara. Konvensi atau hukum Kebiasaan Ketatanegaraan merupakan salah satu sumber hukum Tata Negara dalam arti formal. Konvensi merupakan faktor dinamika sistem ketatanegaraan suatu negara, terutama pada negara-negara demokrasi. Bukan saja berfungsi melengkapi norma hukum ketatanegaraan yang ada, melainkan untuk menjadikan norma hukum terutama Undang-Undang Dasar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan zaman.

Dalam Penjelasan UUD 1945 diformulasikan tentang hakikat Konvensi Ketetanegaraan sebagai berikut:

Undang-Undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar negara itu. Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar yang tertulis, sedangkan di samping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.

K.C. Wheare menyatakan bahwa, Konvensi terbentuk dengan dua cara, yaitu:

  1. Suatu praktek tertentu berjalan untuk jangka waktu yang mula-mula bersifat persuasif, kemudian diterima sebagai suatu hal yang wajib (kewajiban). Konvensi yang terjadi dengan cara ini tergolong sebagai kebiasaan (custom).
  2. Konvensi terjadi melalui kesepakatan (agreement) di antara rakyat. Mereka sepakat melaksanakan sesuatu dengan cara-cara tertentu, dan sekaligus menetapkan ketentuan mengenai cara-cara pelaksanaannya. Ketentuan semacam ini langsung mengikat. Langsung menjadi konvensi, tanpa dikaitkan dengan waktu tertentu seperti konvensi yang tumbuh melalui kebiasaan. Karena konvensi dapat terjadi melalui kesepakatan, maka dimungkinkan ada ”konvensi dalam bentuk tertulis”. (K.C. Wheare, 1980).

Mencermati ketentuan konvensi ketatanegaraan yang mengalihkan kekuasaan dari penyelenggaraan negara maupun yang dikuasai sebagaimana yang telah ditetapkan dalam undang-undang dasar, perlu diketengahkan perubahan konstitusi yang pernah berlaku, khususnya UUD 1945, di dalam ketatanegaraan Indonesia.

Dalam perjalanan perjuangan bangsa, UUD 1945 mengalami perubahan, baik kedudukannya sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar maupun dalam pelaksanaan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pada era 1945 – 1950, UUD 1945 belum dapat dijalankan seperti yang diatur di dalamnya. Hal itu disebabkan bangsa Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya. Setelah disahkan oleh PPKI, lembaga negara yang dapat dibentuk hanyalah Presiden dan Wakil Presiden. Secara yuridis hal itu dapat dilihat pada Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 yang menentukan, bahwa untuk pertama kalinya Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh PPKI. Sementera itu, Lembaga Tinggi Negara yang lain belum dapat diwujudkan. Bahkan, sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional. Hal itu diatur dalam ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945.

Dalam sidang Komite Nasional Indonesia Pusat, selanjutnya disebut KNIP pada tanggal 16 Oktober 1945 di Malang, Wakil Presiden, Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat No. X (baca: eks). Maklumat No. X ini berisikan penegasan terhadap kata “bantuan” dalam Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Sejak Maklumat No. X ini dikeluarkan, kepada KNIP diberi wewenang untuk turut membuat undang-undang dan menetapkan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara. Dengan demikian, seolah-oleh memegang sebagian kekuasaan MPR, di samping memiliki kekuasaan DPA dan DPR. Selanjutnya dikeluarkan pula Maklumat tanggal 14 November 1945. Kesan bahwa sistem pemerintahan Indonesia ketika itu tidak demokratis dapat dihilangkan dengan adanya maklumat ini, yang merupakan konvensi ke arah sistem parlementer. Melalui Maklumat Pemerintah 14 November 1945 ini, memang dibentuk Kabinet Parlementer pertama di bawah pimpinan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada KNIP sebagai subtitut MPR/DPR. (Inu Kencana Syafie, 1996).

Sejak saat itu, “sistem pemerintahan presidensial” beralih ke sistem pemerintahan parlementer, meskipun hal ini tidak dikenal dalam UUD 1945. Selama sistem ini berjalan sampai 27 Desember 1949, UUD 1945 tidak mengalami perubahan secara tekstual. Perubahan sistem pemerintahan ini merupakan tindakan melanggar ketentuan UUD 1945. Hal ini ditegaskan pula dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah, tanggal 3 November 1945 tentang keinginan untuk membentuk partai-partai politik, sehingga berlakulah sistem pemerintahan parlementer sekaligus sistem multi partai. Partai-partai tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan.

Dalam perkembangan ketatanegaraan selanjutnya, sejak tanggal 27 Desember 1949, Republik Indonesia menjadi Negara Bagian Republik Indonesia Serikat. Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan atau souvereineteitsoverdracht kepada Indonesia, dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Meskipun demikian, dalam praktek ketatanegaraan, UUD 1945 masih diberlakukan hanya di Negara Bagian RI, meliputi sebagian pulau Jawa dan sebagian pulau Sumatera, dengan ibu kota Yogyakarta.

Pada era 1959 – 1998, berawal dari permulaan tahun 1959 Presiden dan Dewan Menteri dalam Kabinet Karya menganjurkan kepada Konstituante supaya UUD 1945 ditetapkan menjadi UUD yang menggantikan UUDS RI, sesuai dengan wewenang Konstituante menurut Pasal 134 UUDS RI. Selanjutnya, tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno menetapkan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 75 Tahun 1959 tentang Keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959 mengenai Dekrit Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi  Angkatan Perang tentang Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945. Dalam dekrit tersebut antara lain disebutkan, bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali ke UUD 1945, yang disampaikan kepada rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante seperti ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara.

Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa, dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Dengan pertimbangan, bahwa pertama, Konstituante tidak berhasil membuat UUD yang tetap, dan kedua, Konstituante tidak berhasil menetapkan UUD 1945 sebagai UUD yang tetap. Dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan Presiden sendiri, Presiden menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi.

Berdasarkan alasan tersebut Presiden Soekarno dalam dekritnya mengambil tindakan hukum; pertama, membubarkan badan Konstituante; kedua, menyatakan berlaku kembali Umdang-Undang Dasar 1945; dan ketiga, membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara.

Dalam praktek ketatanegaraan, sejak kembali ke UUD 1945, lembaga-lembaga negara, sebagaimana MPR, DPR, DPA, dan BPK belum dibentuk berdasarkan undang-undang seperti yang ditentukan dalam UUD 1945. Dengan adanya beberapa penyimpangan ketatanegaraan, telah mengakibatkan sistem yang ditetapkan dalam ketentuan UUD 1945 tidak berjalan. Keadaan politik dan keamanan memburuk, yang mencapai puncaknya dengan pemberontakan Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Insonesia.

Letnan Jenderal Soeharto tampil menjadi Presiden Republik Indonesia kedua, melewati prosedur Surat Perintah 11 Maret 1966, yang dikenal dengan Supersemar, melalui Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia.

Pada bulan Juni 1966 Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mengeluarkan sebuah Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Memorandum tersebut diterima dalam Sidang Umum MPRS IV yang berlangsung bulan Juli 1966 dan dijadikan laporan otentik Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/ 1966. Dengan diterimanya memorandum ini, maka kedudukan Soeharto sebagai tokoh utama dalam pemerintahan semakin kuat karena dalam memorandum itu disebutkan Supersemar sebagai dasar hukum bagi lahirnya pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Apalagi secara khusus dalam Sidang Umum telah dikeluarkan pula Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS Republik Indonesia yang menguatkan Supersemar sebagai landasan berpijak bagi beroperasinya pemerintahan Orde Baru. (Moh. Mahfud M.D., 2000).

Pada awal kelahiran Orde Baru sudah ada kesepakatan untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, dimaksudkan agar melindungi UUD 1945 dari usaha perubahan. Hal ini dikarenakan UUD 1945 membuka kemungkinan  adanya perubahan, yakni melalui ketentuan Pasal 37. Karena itu perlu ada tindakan preventif agar Pasal 37 tidak dioperasionalkan.

Berdasarkan perjalanan Konvensi Ketatanegaraan di atas,  Bagir Manan mengemukakan pendapat beberapa dasar atau faktor yang mendorong atau memaksa ketaatan terhadap Konvensi Ketatanegaraan sebagai berikut :

  1. Konvensi ditatai dalam rangka memelihara dan mewujudkan kedaulatan rakyat, Konvensi merupakan salah satu upaya mewujudkan dan memelihara demokrasi
  2. Konvensi ditaati, karena hasrat atau keinginan untuk memelihara tradisi pemerintahan konstitusional (Constitusional Goverment)
  3. Konvensi ditaati, karena setiap pelanggaran akan membawa atau berakibat pelanggaran terhadap kaidah hukum
  4. Konvensi ditaati, karena didorong oleh hasrat atau keinginan agar roda pemerintahan negara yang kompleks tetap dapat berjalan secara tertib
  5. Konvensi ditaati, karena takut atau khawatir menghadapi ancaman hukuman tertentu, seperti impeachment, atau  takut terkena sanksi politik tertentu, seperti kehilangan jabatan
  6. Konvensi ditaati, karena pengaruh pendapat umum (public opinion). Pelanggaran terhadap Konvensi akan menimbulkan reaksi umum, misalnya kehilangan dukungan masyarakat. (Bagir Manan, 1987).

Dengan pertimbangan politik dan bukan melihat konvensi sebagai hukum tertinggi dalam negara, maka perubahan UUD 1945 melalui Konvensi Ketatanegaraan sebagai suatu conditio sine qua non.***

Gedung Nusantara IV MPR-RI,

Jakarta, 6 Februari 2019

 

Soetanto Soepiadhy

Pakar Hukum Konstitusi Untag Surabaya dan

Pendiri “Rumah Dedikasi” Soetanto Soepiadhy.